Hakikat Penyimpangan Maksim

Komunikasi adalah aktivitas sosial yang dilakukan oleh setiap penutur bahasa. Di dalamnya terdapat penutur dan lawan tutur yang bersama-sama membangun makna komunikasi agar komunikasi berjalan dengan baik. Wijana (2009:43) mengasumsikan bahwa dalam komunikasi yang wajar, seorang penutur mengartikulasikan ujaran kepada lawan bicara dengan maksud mengomunikasikan pesan dan berharap lawan bicaranya dapat memahami pesan itu. Untuk itu, setiap penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan topik pembicaraan.
Berkaitan dengan hal itu, Barry (2008:138) melihat bahwa bahasa memiliki seperangkat prinsip yang mengatur bagaimana orang berinteraksi dalam percakapan, bagaimana bernegosiasi, bagaimana kesopanan bertutur, keintiman, bagaimana isyarat mengawali dan mengakhiri ujaran. Sebenarnya, orang yang terlibat dalam komunikasi selalu menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya dan penggunaan bahasanya. Allan (1986) mengatakan bahwa setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual (Wijana, 2009:43). Dengan demikian, ada semacam prinsip yang harus dilaksanakan oleh penutur dan lawan tutur agar komunikasi berjalan lancar.
Grice (1975) berpendapat bahwa satu kegiatan komunikasi yang baik harus dapat memenuhi tujuan percakapan, yaitu harus memenuhi prinsip kooperatif (kerja sama) (Parera, 2004:244). Jika kegiatan komunikasi tidak memenuhi prinsip kerja sama ini, dikatakan menyimpang atau melanggar prinsip kerja sama. Secara lebih jelas, prinsip kerja sama Grice ini meliputi empat maksim, semua akan dipaparkan berikut.
a. Prinsip Kerja Sama
Di dalam prinsip kerja sama Grice ini terkandung empat macam maksim percakapan yaitu, maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner). Tiap-tiap maksim diuraikan berikut ini.

(a) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas ini menghendaki setiap penutur memberikan kontribusi sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya (Wijana, 2009:45). Hal ini mengandung maksud tuturan yang tidak memiliki kadar informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh lawan tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Begitu pula sebaliknya, tuturan yang mengandung kadar informasi berlebihan akan dikatakan juga melanggar maksim kuantitas (Rahardi, 2005:53).
(b) Maksim Kualitas
George Yule (1995:37) menegaskan bahwa maksim kualitas dimaksudkan agar setiap peserta tutur diharapkan berkontribusi secara benar. Artinya, jangan katakan apa yang Anda percayai jika itu salah, dan jangan katakan bahwa apa yang Anda katakan tidak memiliki bukti yang cukup. Dengan kata lain, setiap peserta tutur harus menyampaikan sesuatu yang nyata dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Bila tuturan mengandung informasi yang tidak sesuai, tuturan tersebut melanggar maksim kualitas.
(c) Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah yang dibicarakan. Untuk lebih jelasnya perhatikan wacana berikut.
(d) Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang yang bertutur tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar maksim pelaksanaan. Dalam bahasa Yule (1995:37) maksim ini bertujuan agar tuturan kita menjadi lebih mudah dipahami. Rahardi (2009:57) memberikan ilustrasi berikut untuk penjelasan maksim pelaksanaan.
(1) (A) “Ayo, cepat dibuka!”
(B) “Sebentar dulu, masih dingin.”
Contoh tuturan (1) di atas memiliki kadar kejelasan rendah. Karena memiliki kadar kekaburan makna tinggi. Tuturan (A) sama sekali tidak mengandung kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta. Jawaban dalam tuturan (B) pun mengandung ketaksaan cukup tinggi. Kata dingin di atas mendatangkan banyak kemungkinan persepsi karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan dingin itu.
b. Prinsip Kesopanan
Wijana (2009:53) menjelaskan bahwa kegiatan berbicara tidak hanya berkaitan dengan masalah bersifat tekstual, tetapi sering pula bersifat interpersonal. Hal ini memang memenuhi fungsi dalam komunikasi yaitu terjadi hubungan interpersonal. Secara eksplisit, dikatakan bahwa dalam bertutur atau berkomunikasi dibutuhkan prinsip lain selain prinsip kerja sama, yaitu prinsip kesopanan. Sebab, hubungan interpersonal melibatkan dua peserta percakapan yaitu penutur dan lawan tutur.
Prinsip Kesopanan yang diuraikan ini didasarkan pada pendapat Leech (1983). Leech menyampaikan bahwa ada enam jenis maksim yang perlu dipegang oleh setiap peserta tutur agar tercipta kesopanan. Adapun maksim-maksim yang dimaksud sebagai berikut.
(a) Maksim Kebijaksanaan
Ide mendasar maksim kebijaksanan adalah para peserta pertuturan hendaknya memegang prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur (Rahardi, 2005:60). Hal ini dilakukan agar aktivitas percakapan tidak menimbulkan sikap dengki, sakit hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun. Di samping itu, Leech (1986) menyampaiakan bahwa tuturan memiliki tingkat kesopanan berbeda. Untuk lebih memperjelas, perhatikan disajikan tuturan (…) s.d. (….) berikut.
(1) Tutup pintu itu!
(2) Tutuplah pintu itu!
(3) Tolong tutuplah pintu itu!
(4) Sepertinya pintu itu perlu ditutup!
(5) Kalau tidak keberatan, tolong tutup pintu itu!
Tuturan dengan nomor lebih kecil memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah dibanding dengan tuturan dengan nomor yang lebih besar. Berkaitan dengan hal itu, Wijana (2009:55) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan semakin besar pula keinginan orang untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula, tuturan yang tidak langsung lazimnya dipandang lebih sopan daripada tuturan langsung.
(b) Maksim Kedermawanan
Dengan maksim ini para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Wijana (2009:56) menjelaskan bahwa maksim kedermawanan atau kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat aserfatif. Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan dua kalimat tersebut tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu dengan sopan tetapi di dalam mengungkapkan perasaan dan pendapat juga wajib berperilaku sopan. Untuk lebih jelas, berikut disajikan contoh.
Bapak A: “Wah, tanggal tua. Dompet sudah pas-pasan, malah anak minta sepatu”
Bapak B: “Kebetulan aku baru dapat rezeki tambahan, ini aku pinjami uang”.
(c) Maksim Penghargaan
Maksim ini disebut pula dengan maksim kerendahan hati. Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini menuntut peserta pertuturan untuk selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Wijana (2009:57) mengatakan bahwa maksim ini berpusat pada diri sendiri. Artinya, memaksimalkan ketidakhormatan diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Guru A: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English
Guru B: “Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.
(d) Maksim Kesederhanaan
Maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati menuntut peserta tutur dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap diri sendiri.
(e) Maksim Permufakatan
Maksim ini sering disebut dengan maksim kecocokan. Maksim ini menekankan agar para peserta tuturan dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan antara diri penutur dan lawan tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dikatakan bersikap santun.
(f) Maksim Kesimpatisan
Di dalam maksim ini, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun (Rahardi, 2005:65). Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila sebaliknya, penutur layak turut berduka cita.

DAFTAR PUSTAKA
Anita K. Barry. (2008). Linguistic Perspectives on Language and Education. New Jersey: Pearson Merril Prentice Hall.
George Yule. (1995). Pragmatic. Hawai: Oxford University Press.
H.Douglas Brown. (2008). Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Ed. Bahasa Indonesia. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
J. D. Parera. (2004). Teori Semantik. Jakarta: Erlangga

Kunjana Rahadi. (2005). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:Erlangga.

Hakikat Pragmatik

Gambar

Bahasa adalah sebuah sistem, sehingga memiliki berbagai unsur yang terkandung di dalamnya. Bahasa pun dapat diurai ke dalam unsur-unsur pembentuknya, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Selain itu, bahasa juga merupakan sistem tanda. Hal ini mengandung arti bahwa bahasa yang digunakan itu mewakili hal atau benda yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan masyarakat. Secara eksplisit, bahasa itu memiliki makna. Dengan demikian, bahasa dapat digunakan untuk fungsi komunikatif kepada sesama pengguna bahasa.

Berkaitan dengan hal di atas, Barry (2008:137) menjelaskan bahwa ketika seseorang menggunakan bahasa pasti dilakukan dengan tujuan tertentu, sehingga tujuan utama seseorang adalah menyampaikan tujuan tersebut kepada orang lain/pendengar. Namun ada banyak ujaran dalam bahasa bersifat ambigu atau memiliki lebih dari satu makna. Akibatnya, tujuan yang dimaksudkan penutur sering tidak sama dengan makna yang ditangkap oleh mitra tutur. Hal tersebut dijelaskan oleh Parera (2004:3) bahwa ujaran yang secara struktur bunyi, dan morfologis-sintaksis sama, tidak selalu mempunyai tujuan dan fungsi sama. Misalnya, seorang guru mengatakan “Wah, papan tulisnya kotor sekali Nak.” Ujaran tersebut memang berupa kalimat deklaratif, namun ketika ujaran itu disampaikan di kelas bisa jadi memiliki makna suruhan. Hal-hal semacam inilah yang akan dikaji melalui pragmatik.

PENGERTIAN PRAGMATIK

Yule (1996:3) memberikan empat macam batasan mengenai pengertian pragmatik. Pertama, Pragmatics is the study of speaker meaning. Pengertian pertama ini mengandung maksud bahwa pragmatik memfokuskan pada kajian bagaimana makna ujaran yang dikomunikasikan oleh penutur (penulis) dan bagaimana ujaran tersebut diinterprestasikan oleh pendengar atau pembaca. Kedua, Pragmatics is the study of contextual meaning. Pengertian kedua menjelaskan bahwa kajian pragmatik melibatkan interpretasi apa yang dimaksud orang dalam konteks tertentu dan bagaimana konteks berpengaruh pada apa yang dikatakan.

Ketiga, Pragmatics is the study of how more gets communicated than is said. Pengertian ketiga ini, memaparkan bahwa pragmatik mengeksplorasi bagaimana pendengar dapat membuat kesimpulan tentang apa yang dikatakan dalam rangka untuk mencapai penafsiran arti yang dimaksudkan oleh pembicara. Dapat pula diartikan bahwa pragmatik berusaha menginvestigasi makna pertuturan yang tidak terkatakan atau tidak tampak. Keempat, pragmatics is the study of the expression of relative distance. Pengertian terakhir menjelaskan bahwa pembicara menentukan seberapa banyak yang perlu dikatakan terkait dengan seberapa jauh atau dekat pendengar.

Di lain pihak, Barry (2008:138) mendefinisikan pragmatik sebagai area kajian bahasa yang menaruh perhatian pada bentuk dan penggunaan bahasa dalam konteks. Terkadang orang memilih berbagai bentuk bahasa berbeda ketika ia berada dalam konteks berbeda pula. Namun ada pula orang yang secara sengaja menggunakan bentuk bahasa unik dalam konteks tertentu untuk memperoleh efek tertentu dari pendengar. Misalnya, ketika dalam pembelajaran guru menyisipkan humor agar siswa tertawa.

Lebih lanjut, Wijana (2011:4-5) juga menyampaikan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu terkait dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi. Definisi pragmatik menurut Wijana (2011) dan Barry (2008) ini memiliki unsur sama, yaitu mengkaji bentuk/struktur bahasa dan penggunaan bahasa dalam komunikasi. Dengan demikian, kajian bahasa dengan pendekatan pragmatik akan selalu berkaitan dan terikat dengan konteks. Pakar linguistik lain seperti Brown (2008:255) menegaskan tentang pentingnya pragmatik dalam menyampaikan dan menafsirkan makna melalui pembahasan analisis wacana dan analisis percakapan.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat dirumuskan definisi pragmatik yaitu ilmu bahasa yang menitikberatkan kajian pada penafsiran makna bahasa yang digunakan dalam konteks komunikasi tertentu. Komunikasi selalu terjadi dengan konteks tertentu dan melibatkan pembicara/penulis serta pendengar/pembaca. Penutur melalui bahasa yang digunakan bermaksud menyampaikan maksud tertentu yang harus diinterpretasikan mitra tutur. Dengan demikian, ada beberapa kata kunci dalam pragmatik, yaitu konteks komunikasi, bentuk bahasa, maksud pembicara, dan interpretasi pendengar.

VARIASI BAHASA: SLANG DAN JARGON

Penutur bahasa berada dalam masyarakat heterogen. Masyarakat tersebut tersusun atas berbagai penutur bahasa yang memiliki kelompok sosial berbeda baik berdasar pendidikan, umur, etnis, dan pekerjaan. Perbedaan latar belakang para penutur bahasa tersebut meniscayakan wujud bahasa yang bervariasi. Perkembangan dan perubahan pada wujud bahasa tidak bisa dihindari sebab bahasa adalah milik manusia yang selalu mengalami perubahan aktivitas sesuai kepentingannya. Oleh karena itu bahasa mengalami perkembangan yang dinamis.
Perubahan yang paling tampak saat ini terjadi pada wilayah leksikon dan semantik. Waktu demi waktu leksikon-leksikon baru telah bermunculan akibat semakin meluasnya kebutuhan penutur bahasa akan pengetahuan baru, jaringan sosial, dan komunikasi. Kosakata-kosakata baru yang bermunculan dapat juga terjadi karena perubahan iklim budaya, sosial, dan politik di sebuah negara. Perubahan iklim budaya tampak memiliki andil dalam perkembangan leksikon saat ini. Salah satunya, adanya perkembangan iptek berdampak pada munculnya leksikon-leksikon baru di bidang teknologi, seperti gadget, browsing, drifter, dll. Tak hanya itu, perubahan budaya dan sosial juga menyebabkan kalangan muda/remaja menciptakan kosakata bahasa nonformal untuk mendukung eksistensi mereka di dalam masyarakat. Lazimnya leksikon yang dimunculkan oleh kalangan remaja itu dikenal dengan slang.
Slang ini bersifat temporal; dan lebih umum digunakan di kalangan remaja, meski tidak menutup kemungkinan kalangan tua pun ada pula yang menggunakannya. Karena slang ini bersifat kelompok dan rahasia, maka timbul kesan bahwa kesan bahwa slang ini adalah bahasa rahasinya para pencoleng dan penjahat; padahal sebenarnya tidakklah demikian. Faktor kerahasiaan ini menyebabkan pula kosakata yang digunakan dalam slang seringkali berubah. Dalam hal ini yang disebut bahasa prokem (lihat Rahardjo dan Chamber Loir 1988; juga Kawira 1990) dapat dikategorikan slang.
A.Chaer dan L. Agustina (2010: 67) mendefinisikan slang sebagai variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang memang lebih merupakan bidang kosakata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Contohnya, kosakata-kosata yang dipakai para remaja usia sekolah untuk melakukan percakapan baik secara lisan maupun tulis. Bahkan, jejaring sosial pun kerap kali dijadikan media oleh para kalangan muda untuk mencipta slang ini. Leksikon-leksikon yang dimaksud misalnya, PHP (pemberi harapan palsu), ciyus, mie apah (demi apa), GJ (Gaj Jelas), enelan (beneran), kepo (mau tahu), dll.

Bahasa Jargon
Istilah Jargon sering kita dengar, terutama pada media masa dengan menggunakan kata-kata asing dalam mengungkapkan sesuatu. Chaer dan Agustina (2010: 68) menjelaskan jargon adalah variasi social yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Umpamanya, dalam kelompok montir atau perbengkelan ada ungkapan –ungkapan seperti dispooring, didongkrak, dices, dibalans, dan dipoles. Dalam kelompok tukang batu dan bangunan ditemukan ungkapan, seperti disipat, diekspos, disiku dan ditimbang. Continue reading

BAHASA DAN GENDER: Stereotipe Gaya Percakapan Pria dan Wanita Oleh: Agung Widiyantoro, S.Pd.

 PENDAHULUAN

Manusia adalah bagian dari masyarakat. Sebagai bagian masyarakat, manusia memiliki fungsi sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia akan selalu berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Hal itu dikarenakan manusia memiliki peran dan status berbeda di dalam masyarakat. Perbedaan itu terjadi karena masyarakat bisa dibedakan menurut agama, status sosial, pekerjaan, usia, dan gender. Individu-individu beragam dalam masyarakat itu selalu membentuk hubungan saling membutuhkan. Tentu saja bahasa sebagai sarana utama untuk berkomunikasi. Akhirnya, bahasa memiliki peran penting untuk menyampaikan pesan, ide, dan perasaan antarsesama manusia.

Kondisi masyarakat yang beragam mengakibatkan penggunaan bentuk bahasa berbeda. Perbedaan bentuk bahasa antarkelompok dalam masyarakat itu dikenal dengan variasi bahasa. Bahasa yang digunakan oleh kelompok penutur usia remaja, tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh usia dewasa. Tidak hanya itu, variasi bahasa muncul berkaitan dengan perbedaan status sosial, gender, jenis pekerjaan, dan agama. Jadi, dapat dikatakan bahwa variasi bahasa muncul akibat adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.

Dalam tulisan ini akan diuraikan penggunaan bahasa dikaitkan dengan masalah gender. Lalu muncul pertanyaan “Apakah pria dan wanita memang menggunakan bahasa dengan cara yang berbeda?” dan “Mengapa terjadi perbedaan gaya percakapan berbasis gender?”

 

PEMAHAMAN SINGKAT TENTANG KARAKTERISTIK GENDER

Sebelum membahas penggunaan bahasa berbasis gender, perlu dibahas konsep tentang “gender” dan “seks”. Thomas dan Wareing (2007:106) menjelaskan bahwa seks adalah kategori biologis, sedangkan gender adalah kategori sosial. Seks merupakan kategori biologis karena sejak sebelum seseorang lahir hal itu sudah terbentuk. Sementara gender merupakan pola-pola perilaku tertentu yang dilakukan oleh pria dan wanita.

Perbedaan yang tampak pada konsep “seks” yaitu jika wanita mengalami proses hamil dan melahirkan sedangkan pria tidak. Perbedaan semacam itu didasarkan pada sifat biologis. Di sisi lain, konsep “gender” lebih mengarah kepada bentuk-bentuk perilaku antara pria dan wanita yang mengakibatkan keduanya dipandang berbeda. Sebagai contoh, cara berpenampilan, cara berbicara, dan bentuk pekerjaan.

Selanjutnya, Wardhaugh (2006: 326-328) mengemukakan klaim yang berkaitan dengan gender dan variasi bahasa. Klaim yang pertama menyebutkan bahwa secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda dan perbedaan ini memiliki konsekuensi yang serius pada gender. Perempuan biasanya memiliki karakter non-kompetitif dan mementingkan hubungan/relasi dengan orang lain. Di sisi lain, laki-laki cenderung mengutamakan kemandirian dan hubungannya dengan Tuhan (vertical relationship) daripada hubungannya dengan manusia (horizontal relationship).

Klaim kedua adalah bahwa organisasi sosial diasumsikan sebagai hubungan kekuatan (power relationship). Wardhaugh (2006: 327) menyampaikan bahwa tingkah laku bahasa menunjukkan dominasi laki-laki. Laki-laki menggunakan kekuatannya untuk mendominasi. Laki-laki mencoba mengambil kontrol, menginterupsi, memilah-milah topik, dan sebagainya. Mereka menggunakan hal tersebut dalam hubungannya dengan sesama lelaki maupun dengan perempuan. Sebagai konsekuensi, perempuan lebih teliti dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang prestigious untuk menjaga dirinya dalam hubungannya dengan orang yang lebih kuat karena perempuan relatif memiliki kekuatan yang lebih lemah daripada laki-laki. Selain itu, Wardhaugh (2006: 327) juga menjelaskan bahwa perempuan cenderung memiliki jaringan sosial lebih sedikit daripada jaringan yang dimiliki oleh laki-laki. Akan tetapi perempuan memiliki sensitivitas lebih besar pada bentuk-bentuk bahasa, khususnya pada bentuk bahasa standar.

Klaim yang ketiga adalah bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk sosial yang harus belajar untuk bertindak dengan cara tertentu. Wardhaugh (2006: 327) menjelaskan bahwa tingkah laku bahasa dipelajari dari tingkah laku. Laki-laki belajar untuk menjadi laki-laki dan perempuan belajar untuk menjadi perempuan, yaitu berbicara secara linguistik. Masyarakat menunjukkan pada mereka tentang berbagai pengalaman hidup yang berbeda-beda sehingga mereka dapat belajar dari pengalaman itu.

Maltz dan Borker (1982) melalui Wardhaugh (2006: 327-328) memberikan sebuah contoh berkaitan dengan klaim ketiga di atas, yaitu pada orang Amerika Utara di mana laki-laki dan perempuan yang berasal dari budaya sosiolinguistik yang berbeda melakukan komunikasi. Pada akhirnya, dimungkinkan untuk terjadi miscommunication. Lebih lanjut Maltz dan Borker menjelaskan bahwa mhmm yang digunakan oleh perempuan berarti “Saya mendengarkan,” di sisi lain mhmm yang diucapkan laki-laki mengandung arti “Saya setuju.” Sebagai konsekuensi, laki-laki menganggap bahwa perempuan selalu setuju dengan mereka dan mereka menyimpulkan bahwa adalah mustahil untuk memberitahu apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan. Di sisi lain, perempuan bisa sampai marah disebabkan karena mereka menganggap bahwa laki-laki cenderung tidak pernah mau mendengarkan.

Berdasarkan contoh Maltz dan Borker di atas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki aturan masing-masing dalam berkomunikasi dan pada komunikasi antar-gender aturan-aturan tersebut biasanya akan terjadi ketidaksepahaman.

Menurut Sumarsono (2007: 113) keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengaharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Kenyataan sosial ini dicerminkan melalui bahasa. Tutur perempuan bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih  “benar”. Menurut Sumarsono (2007: 113) fenomena tersebut merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada umumnya dari pihak perempuan diharapkan tingkah laku sosial yang lebih benar.

Selain itu, karakteristik perempuan dalam berbahasa adalah wanita cenderung bersifat androgini (mendua). Menurut Elyan (Sumarsono, 2007: 127), perempuan-perempuan di kota besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti laki-laki, namun tidak mau kehilangan kefemininan. Di samping itu, perempuan-perempuan yang berkarier (wanita karier), yang memiliki status tinggi di luar rumah; mereka ingin berkarya sejajar dengan pria, tetapi tetap ingin sebagai ibu dan istri yang ideal.

Apakah laki-laki dan wanita berbicara dengan cara berbeda?

          Ada asumsi mengenai stereotipe umum bahwa wanita berbicara lebih banyak daripada laki-laki.  Oleh karena itu, sering muncul istilah-istilah khusus yang digunakan untuk percakapan wanita, misalnya gosip, ngrumpi, dll. Namun, istilah tersebut jarang dipakai untuk menyebut istilah dalam percakapan para lelaki. Istilah tersebut secara tersirat bermakna bahwa percakapan wanita itu banyak dan melimpah tapi tidak berujung/bermakna. Ada beberapa penemuan dalam penelitian yang mengungkap perbedaan cara bercakap-cakap antara pria dan wanita. Penelitian ini dilakukan di AS, Inggris, dan Selandia Baru. Ada penemuan yang kadang berlawanan dengan steretipe umum di atas (Thomas & Wareing, 2004:86).

Laki-laki atau perempuan yang berbicara lebih banyak?

Stereotipe gaya bicara laki-laki dan wanita secara umum melukiskan bahwa wanita berbicara lebih banyak daripada laki-laki. Ternyata faktanya berkata lain. Laki-laki lebih banyak berbicara dalam percakapan yang terdiri atas kelompok bermacam jenis kelamin daripada perempuan (Fishman,1980), Spender,1980) and Swann(1989). Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa laki-laki dua kali lebih lama berbicara daripada waktu yang digunakan oleh perempuan. Lalu ada bukti juga bahwa perempuan yang berbicara lebih banyak dalam sebuah percakapan akan lebih dihargai  oleh pembicara lain. Selain itu, ditemukan pula bukti di kelas-kelas bahwa siswa laki-laki lebih banyak berbicara di depan kelas daripada siswa perempuan dan hal ini menyita waktu guru.

Penulis mencermati beberapa bukti di atas dan berpendapat bahwa penemuan tersebut tidaklah mencerminkan kenyataan yang terjadi pada dasawarsa sekarang ini. Ada kondisi yang memungkinkan para laki-laki memang akan berbicara lebih banyak daripada perempuan. Dan ada kemungkinan dalam kondisi lain, perempuanlah yang memegang dominasi pembicaraan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi banyak dan tidaknya pembicaraan seseorang, terutama antara pria dan perempuan.

Fakor-faktor tersebut yakni adanya ideologi kesetaraan gender, ideologi pekerjaan, pendidikan. Ideologi kesetaraan gender membawa pengaruh luas pada pembentuk gaya bicara wanita. Wanita tidak lagi mau diposisikan seperti pada zaman dulu yang hanya berfungsi sebagai istri dan ibu. Wanita ingin juga disejajarkan dengan pria dalam hal kesempatan dan posisi dalam pendidikan dan pekerjaan. Akibatnya, banyak wanita yang berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan tinggi pula. Hal ini mungkin sebagai bentuk perjuangan wanita untuk ingin lebih dihargai dan dihormati. Dengan demikian, saat ini tiap-tiap pria dan wanita memiliki kecenderungan sama dalam hal kuantitas, frekuensi, dan kualitas percakapannya. Hal itu bergantung pada posisi/kedudukan, tingkat pendidikan, topik pembicaraan.

DAFTAR PUSTAKA

 Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.

Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell Inc.

VARIASI BAHASA: BENTUK-BENTUK VARIASI KEFORMALAN oleh Agung Widiyantoro, S.Pd.

Sosiolinguistik memandang bahasa tidak hanya sebagai sistem bunyi dan sistem tata bahasa, tetapi bahasa sebagai produk sosial masyarakat. Artinya, bentuk-bentuk bahasa yang ada dan bermunculan ditentukan oleh faktor gejala sosial dimasyarakat sebagai pengguna bahasa. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaiannya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa yakni, (1) Faktor-faktor sosial: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya; (2) Faktor-faktor situasional: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.

Di samping itu, dalam menjalani kehidupannya manusia membentuk kelompok-kelompok kecil sesuai dengan kepentingannya. Akibatnya bahasa akan mempunyai variasi-variasi sesuai kelompok penuturnya dan sesuai dengan situasi pemakaian. Kekhususan dalam masing-masing kelompok bisa ditandai oleh adanya penggunaan variasi bahasa yang digunakan dalam suatu interaksi oleh pemakainya (Kartomiharjo, 1988: 4). Berkaitan dengan variasi bahasa tersebut dalam tulisan ini akan dibahas variasi bahasa berdasarkan situasi pemakain atau tingkat keformalan.

DEFINISI VARIASI BAHASA

Ada banyak definisi variasi bahasa dari para pakar linguistik. Chaer (2004:62) berpendapat bahwa variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Bahasa akan memiliki sejumlah keragaman atau variasi karena di era globalisasi saat ini mobilitas orang sangat tinggi. Banyak orang yang berpindah, datang, dan pergi ke suatu negara atau kota dengan berbagai kepentingan. Fenomena tersebut berjalan lama dan terjadilah kontak bahasa di antara masyarakat.

Di sisi lain, Allan Bell (dalam Coupland dan Adam ,1997:240) menjelaskan variasi bahasa adalah salah satu aspek yang paling menarik dalam sosiolinguistik. Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah penutur tidak selalu berbicara dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau kejadian. Ini berarti penutur memiliki alternatif atau piilihan berbicara dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Cara berbicara yang berbeda ini dapat menimbulkan maksa sosial yang berbeda pula.

Jadi, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa  yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.

 MACAM-MACAM VARIASI BAHASA BERDASAR KEFORMALAN

Martin Joss membedakan variasi bahasa dalam lima bentuk, yaitu ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate) (Abdul Chaer, 2004:70). Berikut ini penjelasan tiap-tiap ragam bahasa tersebut.

a.    Ragam Beku (Frozen)

Ragam ini merupakan variasi bahasa yang paling formal dan digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi seperti upacara kenegaraan, khutbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab, undang-undang, akta notaris, dan surat keputusan. Variasi ini disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak boleh diubah. Dalam bentuk tertulis ragam ini dapat kita temui pada dokumen-dokumen sejarah, undang-undang dasar, akta notaris, naskah perjanjian jual beli dan surat sewa menyewa.

Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling formal dan digunakan dalam situasi-situasi dan upacara-upacara khidmat atau resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, tata cara pengambilan sumpah, dan sebagainya. Contoh dalam bentuk tertulisnya seperti akta notaris, surat-surat keputusan, dokumen-dokumen bersejarah atau berharga seperti undang-undang dasar, ijazah, naskah-naskah perjanjian jual beli, dan sebagainya. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, dan tidak boleh diubah. Bahkan, tekanan pelafalannya pun tidak boleh berubah sama sekali. Bahasa yang digunakan dalam ragam ini berciri super formal. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh begitu saja mengubah, karena memang sudah ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu, bahasa beku sudah lazim digunakan dan sudah terpatri lama sehingga sulit sekali diubah.

Bentuk ragam beku ini memiliki ciri kalimatnya panjang-panjang, tidak mudah dipotong atau dipenggal, dan sulit sekali dikenai ketentuan tata tulis dan ejaan standar. Bentuk ragam beku yang seperti ini menuntut penutur dan pendengar untuk serius dan memperhatikan apa yang ditulis atau dibicarakan.

b.    Ragam Resmi (Formal)

Variasi ini biasanya digunakan dalam pidato-pidato kenegaraan, rapat-rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, makalah, karya ilmiah, dan sebagainya. Pola dan kaidah bahasa resmi sudah ditetapkan secara standar dan mantap. Contoh variasi resmi dalam pembicaraan misalnya dalam acara peminangan, kuliah, pembicaraan seseorang dengan dekan di kantornya. Pembicaraan ketika seorang mahasiswa menghadap dosen atau pejabat struktural tertentu di kampus juga merupakan contoh ragam ini. Karakteristik kalimat dalam ragam ini yaitu lebih lengkap dan kompleks, menggunakan pola tata bahasa yang tepat dan juga kosa kata standar atau baku.

c.    Ragam Usaha (Konsultatif)

Variasi ini lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan bahwa ragam ini merupakan ragam yang paling operasional. Ragam ini tingkatannya berada antara ragam formal dan ragam santai.

d.    Ragam Santai (Kasual)

Ragam ini merupakan variasi yang biasa digunakan dalam situasi yang tidak resmi seperti berbincang-bincang dengan keluarga ketika berlibur, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Pada ragam ini banyak digunakan bentuk alegro atau ujaran yang dipendekkan. Unsur kata-kata pembentuknya baik secara morfologis maupun sintaksis banyak diwarnai bahasa daerah.

e.    Ragam Akrab (Intim)

Variasi bahasa ini digunakan oleh penutur dan petutur yang memiliki hubungan sangat akrab dan dekat seperti dengan anggota keluarga atau sahabat karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaann bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan artikulasi tidak jelas. Pembicaraan ini terjadi antarpartisipan yang sudah saling mengerti dan memiliki pengetahuan yang sama.

Dalam menganalisis ragam bahasa berdasarkan tingkat keformalan ini sangat tergantung dengan situasional ujaran tersebut. Situasional yang dimaksud ini berkaitan dengan siapa berbicara, bahasa apa yang digunakan, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa. Jadi, sangat mungkin dalam satu situasi terjadi pembicaraan dengan ragam yang berbeda seperti di bawah ini.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya dibedakan dalam lima bentuk di bawah ini.

  1. Ragam beku (Frozen), yaitu merupakan variasi bahasa yang paling formal dan digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi
  2. Ragam Resmi (Formal), yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, pidato kenegaraan, rapat-rapat resmi, rapat-rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, makalah, karya ilmiah, dan sebagainya.
  3. Ragam Usaha (Konsultatif), yaitu variasi ini lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi.
  4. Ragam Santai (Kasual), yaitu Rgam ini merupakan variasi yang biasa digunakan dalam situasi yang tidak resmi seperti berbincang-bincang dengan keluarga ketika berlibur, berolah raga, berekreasi, pembicaraan dengan teman pada waktu istirahat dan sebagainya.
  5. Ragam Akrab (Intim), yaitu variasi bahasa ini digunakan oleh penutur dan petutur yang memiliki hubungan sangat akrab dan dekat seperti dengan anggota keluarga atau sahabat karib.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Coupland, Nikolas and Adam Jaworski. 1997. Sosiolinguistics: A Reader and  Coursebook. England: Macmillan Press LTD.

Kartomihardjo, Suseno. 1988. Bahasa CerminKehidupan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK.

VARIASI SOSIAL BAHASA: KERAGAMAN BERDASAR KELAS SOSIAL

oleh Agung Widiyantoro, S.Pd.

Bahasa hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Bahasa dapat berkembang sebab digunakan oleh manusia sebagai penutur bahasa untuk kebutuhan berinteraksi dan berkomunikasi sesuai dengan kepentingan. Kenyataannya masyarakat tidaklah tersusun atas unsur yang homogen tetapi memiliki heterogenitas tinggi. Artinya, masyarakat sangat beragam baik dari segi agama, status sosial, pendidikan, pekerjaan, gender, dan usia. Meskipun beaneka ragam, tuntutan interaksi dan komunikasi antarkelompok berbeda tidak bisa dihindari sebab manusia adalah makhluk sosial. Selanjutnya, interaksi dan komunikasi tersebut mengharuskan penggunaan bahasa yang bermakna dan mudah dipahami antarpenutur dari kelompok berbeda. Tidak hanya itu, kelompok-kelompok masyarakat pengguna bahasa sering menggunakan kekhususan bahasa yang mewakili karakteristik kelompoknya. Kekhususan bahasa tersebut sering hanya diketahui oleh pengguna bahasa dari kelompoknya saja sedang penutur dari kelompok lain tidak tahu. Misalnya, bahasa-bahasa yang digunakan oleh anak remaja atau usia SMP & SMA terkadang tidak dipahami orang dewasa. Sebab cenderung menggunakan kosakata khusus sesuai dengan tingkat usia remaja.

BAHASA DAN KELAS SOSIAL

Bentuk-bentuk bahasa yang ada dalam masyarakat berdasar kacamata sosiolinguistik sangat dipengaruhi oleh faktor sosial. Salah satunya adalah kelas sosial dalam masyarakat. Lalu, apa itu kelas sosial? Sumarsono (2007: 43) menjelaskan bahwa kelas sosial (social class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Di sisi lain, Thomas dan Wareing (2004:144) mengatakan bahwa kelas sosial sulit untuk didefinisikan. Ia menambahkan jika pembicaraan kelas sosial dikaitkan dengan tinggi dan rendahnya kelas, dapat diasumsikan bahwa masyarakat dapat distratifikasi berdasarkan kelas. Artinya, anggota masyarakat dapat dikelompokkan pada lapisan sosial tertentu berdasar pertimbangan kesamaan dan kesetaraan yang menunjukkan lapisan sosial tinggi dan rendah. Secara umum dalam kelas sosial ini dibicarakan masalah kelas tinggi, menengah, rendah atau kelas pekerja.

Pendapat Sumarsono (2007) dan Thomas & Wareing (2004)tidaklah berbeda jauh, hanya perlu digarisbawahi persamaan kedua pendapat itu. Pada intinya, kelas sosial merupakan pengelompokkan masyarakat yang memunyai persamaan dan kesetaraan pada lapisan dan bidang-bidang tertentu. Akibatnya dikenal istilah kelas sosial buruh, kelas sosial pejabat, kelas sosial terdidik dan tak terdidik, dan lain sebagainya. Namun perlu diperhatikan bahwa kelas sosial bersifat terbuka yang memungkinkan adanya mobilitas sosial, yaitu berpindahnya seseorang dari kelas ke kelas. Selanjutnya, bagaimana kaitan antara bentuk-bentuk bahasa dan kelas sosial? Informasi mengenai hal ini akan terjawab dengan penyajian hasil penelitian para ahli berikut.

William Labov: the social stratification of ‘r’ in New York City department stores.

Labov adalah ahli sosiolinguistik Amerika, pada tahun 1962 Ia melakukan survei untuk mengetahui hubungan antara kelas sosial dan variasi bahasa di Amerika Serikat, khususnya di kota New York City. Penelitian ini didasarkan pada kriteria pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Labov ingin menemukan apakah pelafalan fonem “r” membedakan kelas sosial penutur. Lokasi penelitian itu adalah tiga supermarket yang telah dipilih dengan dasar kriteria tertentu. Supermarket pertama kategori kelas sosial tinggi, supermarket kedua kategori kelas sosial menengah, dan ketiga kategori kelas sosial rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berbelanja di supermarket kategori kelas sosial rendah jarang sekali memunculkan pelafalan fonem ‘r’, sementara di dua supermarket lain frekuensi kemunculannya sama atau lebih banyak daripada yang ada di supermarket ketiga. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kehadiran dan ketidakhadiran lafal ‘r’ pada kata tertentu sangat berkaitan dengan kelas sosial.

Peter Trudgill: Diferensiasi sosial penutur bahasa Inggris di Norwich.

Peter Trudgill seorang ahli sosiolinguistik di Inggris pada 1974 melakukan penelitian skala besar di Norwich. Ia ingin menemukan apakah faktor sosial memainkan bagian pada pembicaraan orang-orang di Norwich. Asumsi dasarnya adalah orang di kelas sosial tinggi lebih dekat pada bentuk-bentuk prestige  pada ujarannya. Penelitian Trudgill menggambarkan bahwa posisi/kedudukan seseorang yang berada di kelas sosial tinggi semakin dekat dengan bentuk bahasa prestige. Dengan kata lain, semakin formal situasi percakapan orang cenderung semakin dekat dengan bahasa yang prestige. Atau dapat dikatakan, semakin rendah kelas sosial semakin banyak penggunaan bahasa nonbaku yang ditemukan.

SIMPULAN

Di Indonesia fenomena seperti dua hasil penelitian di atas tergambar jelas. Orang-orang yang berada di kelompok/golongan pekerjaan, pendidikan, dan ekonomi akan memiliki perbedaan bentuk bahasa. Sebagai contoh, orang yang berlatar belakang pendidikan berbeda tentu akan memiliki bahasa yang berbeda pula. Orang yang berpendidikan tinggi (Sarjana) akan mudah menggunakan bentuk bahasa formal daripada orang berpendidikan rendah (tidak lulus SD/SD saja). Begitu pula yang terjadi pada orang berlatar belakang pekerjaan berbeda. Misalnya orang yang bekerja sebagai tukang becak cenderung menggunakan bahasa tidak formal, kasar, dan kurang menjaga prestige. Sementara itu, orang yang pekerjaannya guru tentu tidak demikian. Pada akhirnya, hasil penelitian Labov (1962) dan Trudgill (1974) memang menunjukkan fakta bahwa kelas sosial berkaitan erat dengan bentuk-bentuk bahasa. Semakin prestige kelas sosial semakin menggunakan bentuk bahasa yang standar/baku. Begitu pula sebaliknya.

ETNISITAS DAN JARINGAN SOSIAL

PENDAHULUAN

Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan perkembangan kegiatan manusia di bidang ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan,dll. Kontak dalam bidang-bidang tersebut menyebabkan suatu bahasa terpengaruh bahasa yang lain. Proses seperti itu tidak mungkin dihindarkan. Saling mempengaruhi bahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan. Selain itu kebutuhan akan komunikasi dengan penutur bahasa lain menyebabkan seseorang mempelajari bahasa lain, sehingga munaucullah kedwibahasaan atau bahkan multibahasaan

A. KONSEP ETNISITAS

Dalam buku Sociolinguistic and Language Education (2010), Waters (1990) mengungkapkan bahwa pada umumnya orang menghubungkan etnisitas dengan perbedaan berdasarkan asal negara, bahasa, agama, makanan dan penanda budaya lainnya, dan hubungan ras untuk pembedaan  berdasar penampilan fisik. Dapat dikatakan bahwa etnis merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan karakteristik budaya, bahasa, dan penampilan fisik tetapi memiliki perbedaan identitas dengan sekelompok orang yang lain.

Thomas dan Wareing (2007:136) menyebutkan dua konsep yang banyak digunakan dalam pembahasan keompok etnis yakni “etnis mayoritas” dan “etnis minoritas”. Etnis mayoritas adalah kelompok budaya yang berperan dominan dalam mempengaruhi infrastruktur-infrastruktur dalam sebuah negara. Dengan kata lain, kelompok ini adalah pemegang kekuasaan sosial dan politik. Sementara itu, etnis minoritas mengacu pada kelompok etnis yang kekuasaan sosial dan politiknya kecil atau tidak ada sama sekali.

Thomas dan Wareing (2007:137) menegaskan bahwa keyakinan-keyakinan yang dibentuk oleh etnis mayoritas dianggap sebagai sesuatu yang normal/wajar. Di lain sisi, segala sesuatu yang berbeda dari etnis mayoritas akan dianggap atipikal/tidak wajar atau nyeleneh. Hal itu pun tampak pada penggunaan bahasa etnis mayoritas dan minoritas. Etnis mayoritas sering menggunakan bahasa yang menekankan sifat “beda” dari etnis minoritas. Akan tetapi etnis minoritas pun dapat membedakan diri mereka dari etnis mayoritas dalam hal penggunaan bahasa (Thomas dan Wareing, 2007:152).

Ketika orang termasuk dalam kelompok yang sama, mereka sering berbicara dengan bahasa sama. Namun ada banyak kelompok berbeda dalam sebuah komunitas, sehingga setiap individu dapat berbagi fitur linguistik dengan berbagai pembicara lain. Beberapa fitur linguistik tersebut mengindikasikan status sosial seseorang. Ada juga petunjuk untuk penanda etnis seseorang. Setiap individu memanfaatkan semua sumber daya ini ketika mereka sedang membangun identitas sosialnya (Holmes, 2001:175).

Contoh 1

Ketika saya masih di Montreal saya menemukan sebuah restoran kecil di daerah tua Perancis di mana menu yang disajikan terjangkau dan menarik. Saya disambut dengan bahasa Perancis oleh pelayan dan saya menjawabnya dengan bahasa Perancis pula, melalui aksen jelas mengisyaratkan bahwa saya adalah seorang penutur asli bahasa Inggris. Pada titik ini pelayan, seorang bilingual- memiliki pilihan. Ia memilih untuk melanjutkan ke dalam bahasa Perancis dan meskipun saya tidak bisa memastikan alasannya. Saya menginterpretasikan pilihan ini sebagai ungkapan keinginannya untuk diidentifikasi sebagai orang Perancis Kanada.

Banyak kelompok etnis menggunakan bahasa khas yang berhubungan dengan identitas etnisnya. Ketika proses komunikasi berlangsung, sering memungkinkan orang untuk memberi sinyal etnisnya melalui pemilihan bahasa yang digunakan. Bahkan ketika percakapan lengkap dalam bahasa etnis tidak mungkin berlangsung, orang dapat menggunakan frasa singkat, pengisi lisan atau tanda linguistik.

Di Selandia Baru banyak orang Maori secara rutin menggunakan sapaan seperti kie ora dan percakapan antara dua orang Maori mungkin menggunakan frasa tegas seperti e ki, tanda pelunakan seperti ne, dan tanggapan seperti ae, bahkan ketika tidak berbicara bahasa Maori lancar. Tawar-menawar dengan pengecer Cina di pusat perbelanjaan, orang Cina-Singapura sama-sama sering menandai latar belakang etnis dengan tanda linguistik, seperti kata yang tidak diterjemahkan la, dan frasa atau kata-kata dari bahasa etnisnya. Penekanan etnis secara umum mungkin berarti mendapatkan tawaran yang lebih baik.   

Ketika sebuah kelompok mengadopsi dengan senang hati atau terpaksa bahasa dominan dalam masyarakat -simbol penting etnis bahasa mereka sering menghilang. Orang Italia di Sidney dan New York, Orang India dan Pakistan dan Jamaika dalam situasi ini.

Kelompok etnis sering menanggapi situasi di atas dengan menggunakan bahasa mayoritas dengan sebuah cara yang menandakan identitas etnis mereka. Untuk kelompok di mana tidak ada pengidentifikasian ciri fisik untuk membedakan mereka dan orang lain dalam masyarakat, fitur linguistik khas tersebut merupakan simbol penting yang tersisa sesudah bahasanya menghilang. Makanan, agama, pakaian, dan gaya bicara yang khas adalah semua cara bahwa etnis minoritas dapat digunakan untuk membedakan diri dari kelompok mayoritas.

B. Penggunaan Bahasa Sebagai Penanda Identitas Etnis

Etnis minoritas di suatu negara selalu berusaha untuk membedakan diri mereka dari etnis mayoritas. Contohnya, etnis minoritas tetap menggunakan bahasa asli mereka yang berbeda dengan bahasa resmi yang digunakan etnis mayoritas. Tentu saja, etnis mayoritas ada yang tidak setuju sehingga muncullah label negatif tentang penggunaan bahasa minoritas. Berikut ini akan dipaparkan status bahasa Afrika Amerika Vernakular Inggris atau bahasa Ebonik (bahasa khas kulit hitam) di Amerika dan British Black English di negara Inggris.

a)      Amerika Afrika Vernakular Inggris

Dalam buku Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan karya Thomas dan Wareing (2007:152) dijelaskan bahwa pada tahun 1990 ada kira-kira 30 juta orang Afro-Amerika di AS (sekitar 12% dari total populasi). Sebanyak 80-90 persen kalangan Afro-Amerika ini diperkirakan menggunakan jenis bahasa Ebonics (dari kata “ebony” yang berarti “hitam” dan “phonics” yang berarti suara. Selain itu, Ebonics juga dikenal sebagai African American Vernacular English (AAVE, bahasa sehari-hari (vernakular) dari kalangan Afro-Amerika).

Dialek AAVE ini memiliki sejumlah fitur yang tidak terjadi dalam standar utama Amerika Inggris, dan lain-lain yang terjadi sangat jauh lebih sering dalam variasi standar. Tindakan linguistik berbeda ini sebagai simbol etnisitas (Holmes, 2001:177). Mereka mengekspresikan banyak rasa kekhasan budaya Afrika Amerika

Ada banyak kalangan masyarakat Eropa-Amerika dan bahkan kalangan Afro-Amerika yang menganggap  bahasa Ebonik bukanlah bahasa yang normal/wajar. Penyebabnya adalah ebonik sebagai varian dari bahasa Inggris memiliki perbedaan dengan bahasa Inggris standar di Amerika. Bahkan banyak yang memandang bahasa Ebonik/AAVE ini sebagai bahasa Inggris yang “rusak” atau penuturnya dianggap “bodoh, tidak berpendidikan.”

AAVE terdengar terutama di kota-kota utara di Amerika Serikat. Salah satu fitur yang paling khas adalah tidak lengkapnya kata kerja kopula be dalam beberapa konteks sosial dan linguistik. Dalam kebanyakan konteks tuturan, pembicara bahasa Inggris standar menggunakan bentuk kata kerja be dipersingkat atau dikurangi. Dengan kata lain, orang tidak biasa mengatakan She is very nice tetapi She’s very nice. Mereka mengurangi atau menyingkat is to s.

Contoh 4

African American Vernacular English

American Standard English

She very nice

He a teacher

That my book

The beer warm

She’s very nice

He’s a teacher

That’s my book

The beer’s warm

 

Dalam rekaman tuturan Detroit, misalnya, orang Amerika kulit putih tidak pernah menghilangkan kopula kata kerja be, sedangkan Afrika Amerika –terutama yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah- teratur melakukannya.

Secara jelas dapat disimpulkan bahwa tata bahasa AAVE memiliki beberapa fitur yang tidak terjadi dalam tata bahasa orang Amerika putih. Namun, ada banyak fitur bahasa Inggris yang digunakan oleh kelompok-kelompok sosial ekonomi rendah di Amerika Serikat- yang juga terjadi pada AAVE. Pada umumnya pembicara AAVE hanya menggunakan fitur ini lebih sering daripada orang Amerika putih (Thomas dan Wareing,2007:158).

Dari sini kita lihat bahwa menggunakan bahasa yang lazim digunakan masyarakat luas akan dianggap sebagai penolakan atau pengkhianatan terhadap identitas budaya atau etnisnya. Sama seperti bahasa Patois di Inggris, bahasa Ebonik di AS dan kalangan yang menggunakan tetap tidak diakui secara resmi oleh etnis mayoritas di AS. Namun Ebonik tetap hidup sebagai sebuah bahasa yang menyatukan sebagian besar dari populasi Afro-Amerika di As. Ini berarti bahwa para penutur bahasa Ebonik mendapatkan sesuatu dari kalangan mereka dan dari satu sama lain yang tidak mereka dapatkan dari dunia yang ditawarkan kepada mereka sebagai dunia yang lebih unggul dan lebih baik oleh mayoritas (Lippi-Green, 1997:201 melalui Thomas dan Wareing).

b)     British Black English

Di Inggris, cara etnis minoritas yang berbeda dalam berbicara bahasa Inggris sering sekali memiliki kekhasan sama. Bahasa Inggris etnis yang berbicara bahasa minoritas seperti Gujarat, Punjabi, dan Turki pada umumnya memberi sinyal latar belakang etnisnya. Dan orang-orang India atau Afrika asal Karabia menggunakan batasan varietas, tergantung pada tempat mereka tinggal di Inggris dan berapa lama keluarga mereka telah tinggal di Inggris. Mereka yang lahir di Inggris Raya biasanya digambarkan sebagai anggota kelompok masyarakat kulit hitam Inggris dan sebagian besar berbicara variasi bahasa kreol Jamaika sama baiknya dengan variasi bahasa Inggris.

            Variasi bahasa Kreol Jamaika yang digunakan oleh orang kulit hitam Inggris dikenal sebagai Patois. Orang Jamaika di London, misalnya adalah variasi London Patois. Variasi tersebut berasal dari bahasa Kreol Jamaika, tetapi memiliki sejumlah fitur yang membedakannya dari variasi Jamaika.

Contoh 6:

Polly adalah seorang remaja kulit hitam Inggris yang tinggal di Midlands Barat. Orang tuanya datang ke Inggris dari Jamaika pada tahun 1963 untuk mencari pekerjaan. Meskipun Ibu Polly memiliki pendidikan baik di Jamaika, satu-satunya pekerjaan yang mampu ia temukan di Dudley adalah membersihkan kantor pada malam hari. Ayah Polly bekerja di pabrik tetapi sekarang dia dipecat dan telah menganggur selama hamper dua tahun. Mereka tinggal di lingkungan yang didominasi orang hitam dan hampir semua teman Polly adalah orang kulit hitam muda. Polly dan orang tuanya mendatangi gereja Pentekostal lokal. Kakaknya juga menghadirinya, tapi ia telah berhenti sejak ia keluar sekolah

Repertoir lisan Polly meliputi berbicara bahasa Inggris standar dengan aksen Midlands Barat, sebuah variasi bahasa Inggris informal dengan beberapa fitur Patois yang bisa digambarkan sebagai Midlands hitam Inggris, dan Patois,, variasi kreol jamaika yang digunakan oleh orang-orang kulit hitam di Dudley.

            Pola penggunaan bahasa Polly tidak sederhana. Sementara itu, kakak dan orang tuanya menggunakan Patois kepadanya. Ia diharapkan menggunakan bahasa Inggris dalam menanggapi. Di rumah Ia biasa menggunakan bahasa Inggris kulit hitam Midlands, tetapi ia menggunakan variasi lebih standar kepada gurunya di sekolah. Di kebanyakan toko ia menggunakan bahasa Inggris standar dengan aksen lokal, kecuali dia tahu ada orang kulit hitam muda di belakang meja, maka ia mungkin menggunakan bahasa Inggris kulit hitam Midlands.

            Etnis Polly ditandai dengan tidak begitu banyak oleh pengetahuan variasi tertentu, tetapi dengan cara dia menggunakan variasi dalam repertoar linguistiknya. Banyak orang kulit hitam muda Inggris menggunakan Patois untuk berbicara dalam kelompok sebagai simbol etnis mereka, tetapi tidak semuanya pengguna mahir.

            Hal itu mencerminkan fakta bahwa mereka milik bersama sebagai sebuah kelompok orang muda hitam Inggris. Seseorang yang menggunakan bahasa Inggris standar di kelompok ini ketika berbicara di kantin di antara pelajaran, misalnya akan diberi label ‘cerewet’ atau ‘sombong’.

            Ada sejumlah variasi bahasa Inggris kulit hitam Inggris seperti variasi Polly Midlands, variasi London, serta variasi Patois regional, meskipun banyak yang belum dijelaskan. Fungsi variasi ini sebagai simbol etnis di kalangan orang-orang hitam Inggris. Mereka bahkan bisa dianggap sebagai contoh ‘antibahasa’, sebuah istilah yang telah digunakan untuk mencerminkan oposisi fungsi ekspresi mereka dengan nilai-nilai utama masyarakat Inggris kulit putih yang mengecualikan orang kulit hitam dan budaya mereka

C.  Jaringan sosial

Jaringan dalam sosiolinguistik mengacu pada pola hubungan informal orang yang terlibat secara teratur (Holmes, 2000:184). Ada dua istilah yang telah terbukti sangat berguna untuk menggambarkan berbagai jenis jaringan – kepadatan dan kompleksitas. Kepadatan mengacu pada apakah anggota jaringan seseorang berhubungan satu sama lain. Apakah teman-teman Anda mengenal satu sama lain secara independen? Jika demikian jaringan Anda memenuhi kepadatan. Hubungan mengenal dan berinteraksi secara teratur dengan sesama teman Tom, sama baiknya dengannya. Jelas bahwa Tom milik jaringan padat. Berikut ini ilustrasi tentang jaringan sosial yang dimiliki oleh Tom.

Contoh 2

Tom tinggal di Ballymacarrett, daerah timur protestan dari Lagan sungai di Belfast. Dia berumur 18 tahun dan bekerja sebagai pekerja magang di galangan kapal. Dia mendapatkan pekerjaan melalui Paman Bob dan Ia memiliki sepupu Mike yang bekerja di tempat sama. Ia dan Mike tinggal di jalan yang sama dan hampir setiap malam mereka minum bir bersama-sama setelah bekerja. Mereka juga menjalankan disko dengan dua temannya, Jo dan Gerry, dan itu berarti bahwa beberapa malam dalam seminggu mereka melakukan perjalanan melintasi kota untuk tampil di tempat yang berbeda.

Cara Tom dan sepupunya berbicara merefleksikan fakta bahwa mereka milik sebuah komunitas pekerja kecil yang hubungannya erat. Laki-laki yang bekerja dengannya dan campur dengan pekerjaan di luar hubungan dan juga tetangga, mereka semua berbicara sama. Pola yang dicatat pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa sebagai anggota dari kelas pekerja, mereka akan cenderung menggunakan bentuk yang lebih vernankular disbanding kelompok sosial lainnya. Tom dan temannya menggunakan sejumlah besar bentuk tuturan vernankular.

Mereka sering menghapus th [   ] pada mother dan brother, dan mengucapkan man dengan [mo:n], dan map dengan [ma:p]. Sebaliknya orang-orang dalam komunitas Tom yang tidak memiliki bagian lebih dalam kekerabatan, tetangga dan jaringan kerja-yang lebih marginal- cenderung berbicara kurang ‘luas’. Misalnya, Sandy, seorang laki-laki yang hidup di tepi Ballymacarret bekerja sebagai pegawai negeri. Dia datang dari Irlandia Selatan dan tidak memiliki keluarga di Belfast. Ia melihat orang seperti Tom hanya sesekali di pub. Dia tidak benar-benar bagian erat dari para lelaki Ballymacarret dan tuturannya mengungkapkan hal ini. Ia menggunakan bentuk vernankular jauh lebih sedikit daripada Tom dan Mike.

Plexity adalah ukuran dari berbagai jenis orang yang terlibat dalam transaksi dengan individu yang berbeda. Hubungan uniplex adalah salah satu tempat link dengan orang lain dalam satu bidang. Anda dapat dikaitkan dengan orang lain misalnya hanya karena Anda bekerja bersama, mungkin Anda bermain badminton bersama dan tidak pernah bertemu dalam konteks lain. Jika sebagian besar transaksi dalam komunitas adalah dari jenis jaringan ini, akan ditandai sebagai uniplex. Hubungan multiplex sebaliknya, melibatkan interaksi dengan lainnya sepanjang beberapa dimensi. Jika sebagian besar transaksi dalam komunitas seperti itu, jaringan akan dianggap multiplex. Jaringan Tom adalah multiplex karena orang-orang yang bekerja dengannya, juga merupakan teman di pub, relasi, dan tetangga.

Tidak mengherankan bahwa tuturan orang harus mencerminkan jenis jaringan yang dimiliki. Orang yang berinteraksi dengan kita adalah salah satu pengaruh penting pada tuturan. Ketika ada orang yang bergaul dengan kita secara teratur memiliki kelompok homogen, biasanya kita akan berbicara sama dengan kelompok tersebut. Siapa yang berbicara dengan kita dan yang mendengarkan secara teratur adalah pengaruh penting pada cara kita berbicara.

D. Bilingualisme dan Multilingualisme

Bahasa memiliki peran penting terhadap sekelompok masyarakat. Kondisi masyarakat yang majemuk mengakibatkan setiap kelompok masyarakat berbicara dengan bahasa berbeda. Banyak negara di dunia ini mengenal lebih dari dua macam bahasa. Misalnya, Perancis, India, Kanada, Nigeria, dan Indonesia. Ada banyak negara yang secara linguistik terpilah-pilah sehingga setiap anak menjadi dwibahasawan (bilingual) atau anekabahasawan (multilingual) (Sumarsono, 2012:164).          

Sebagai contoh berikut ilustrasi yang memberikan gambaran masyarakat dwibahasawan.

Pilar adalah anak yang dilahirkan dari latar belakang orang tua bersuku Jawa. Dalam kesehariannya, bahasa Jawa digunakannya untuk berinteraksi dengan orang tua dan tetangga. Dengan demikian, ia berbahasa ibu bahasa Jawa. Ketika bersekolah ia mulai mengenal bahasa Indonesia dan sejak itu ia mulai mahir berbahasa Indonesia.

Ilustrasi tersebut terjadi dalam konteks wilayah Indonesia. Setiap anak yang bahasa pertamanya bukan bahasa Indonesia berpotensi menjadi bilingual. Terlebih di Indonesia yang memiliki sejumlah bahasa daerah tertentu menyebabkan kemungkinan besar setiap orang adalah bilingual. Hal itu sesuai dengan asumsi Edward (1994:55) bahwa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak tahu beberapa kata dalam sebuah bahasa selain bahasa ibu.

Lalu apa bilingual itu? Menurut kamus Webster (1961) bilingual didefinisikan sebagai ‘memiliki atau menggunakan dua bahasa terutama karena diucapkan dengan karakteristik penutur asli, orang yang menggunakan dua bahasa terutama karena kebiasaan dan dengan kontrol. Sementara itu, Kamal K Sridhar melalui Sandra dan Nancy (2009:47) mengatakan bahwa istilah bilingual dan multilingual telah digunakan secara bergantian dalam literatur untuk merujuk pada pengetahuan atau penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang individu atau komunitas.

Ada beberapa jenis masyarakat multilingual. Grosjean (1982:12-13) dalam Sandra dan Nancy (2009:48) menyebutkan dua jenis masyarakat multilingual, yaitu prinsip teritorial multilingualisme dan prinsip personalitas. Prinsip teritorial multilingualisme mengacu pada keseluruhan bangsa adalah multibahasa tetapi tidak semua individu multibahasa. Sementara prinsip personalitas menyatakan bahwa bilingualisme adalah kebijakan negara dan sebagian besar individu adalah multibahasa.

ALASAN LAHIRNYA MULTILINGUALISME

Bagaimana sebuah masyarakat dapat menjadi multilingual? Tentu saja ada beberapa faktor yang mendasarinya. Faktor yang paling jelas menyebabkan multilingualisme masyarakat adalah migrasi (Sidhar melalui Sandra dan Nancy (2009:48). Ketika penutur bahasa menetap selama bertahun-tahun di daerah tempat bahasa lain digunakan dan terus mempertahankan bahasa mereka sendiri maka penutur tersebut menjadi multilingual.

Penyebab lain multilingualisme masyarakat adalah kontak budaya. Ketika masyarakat mengimpor dan mengasimilasi lembaga kebudayaan masyarakat lain selama bertahun-tahun, mungkin multilingualisme pun terwujud. Alasan ketiga menurut Sidhar melalui Sandra dan Nancy (2009:48) adalah aneksasi dan kolonialisme. Di samping itu, ada pula alasan lain seperti ketergantungan komersial, ilmu pengetahuan, dan teknologi dari penutur bahasa tertentu ke penutur bahasa lain.

DAFTAR PUSTAKA

Edward, John. 2003. Multilingualism. London: Routledge

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. London: Pearson.

Mckay, Sandra Lee dan Nancy H Hornberger. 2009. Sociolinguistics and Language Teaching. London: Cambridge University Press.

Mackay, Sandra Lee dan Nancy H Hornberger. 2010. Sociolinguistic and Language Education

Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Kompetensi dan Pengetahuan Sosiolinguistik dalam Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa

Gambar

Bahasa merupakan produk sosial budaya masyarakat. Sebagai produk sosial budaya masyarakat, bahasa harus dipahami dari dua aspek bentuk dan makna. Karena bahasa yang dihasilkan masyarakat tidak hanya berupa deretan tanda-tanda tanpa arti tetapi deretan tanda yang memuat konteks makna dan nilai. Dengan kata lain, setiap bahasa yang dituturkan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari konteks makna dan nilai. Karena pengguna bahasa memiliki karakteristik majemuk, akibatnya bahasa pun memiliki sejumlah karakteristik berbeda. Misal, masyarakat dapat dibedakan berdasar umur, jenis kelamin, status sosial, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Tentu saja bahasa yang digunakan masyarakat tersebut memiliki ciri berbeda.

Ada beberapa pertanyaan muncul ketika orang berusaha memahami bahasa dan masyarakat. Mengapa kita mengatakan hal yang sama dengan cara berbeda? Mengapa dalam situasi berbeda kita menggunakan bahasa berbeda? Apakah perbedaan usia, jenis pekerjaan, status sosial, dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap penggunaan bahasa? Lalu, apakah bahasa memiliki fungsi tertentu dalam proses komunikasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah dijawab oleh disiplin ilmu di bidang linguistik.

Dalam studi linguistik pendidikan dikenal salah satu disiplin ilmu sosiolinguistik. Objek kajian disiplin ilmu ini menekankan pada hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik menaruh perhatian pada kondisi masyarakat yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Lebih lanjut, Holmes (2001:1) mengatakan bahwa sosiolinguistik digunakan untuk menjelaskan bagaimana orang berbicara secara berbeda dalam konteks sosial berbeda. Selain itu, sosiolinguistik juga memfokuskan pada pengidentifikasian fungsi sosial bahasa dan cara bahasa digunakan untuk menyampaikan makna sosial. Seperti halnya definisi Holmes, Wardhaugh (1990:12) memaparkan bahwa sosiolinguistik ditujukan untuk menginvestigasi hubungan bahasa dan masyarakat dengan tujuan pemahaman terhadap struktur bahasa dan fungsi bahasa dalam komunikasi.

Setelah mengetahui bahwa objek kajian sosiolinguistik berupa variasi penggunaan bahasa dalam masyarakat, tentu saja memiliki kontribusi strategis dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa. Kontribusi tersebut dapat berupa ihwal praktis dan teoretis. Terkait dengan pembelajaran dan pengajaran bahasa, ada tiga pandangan konseptual yang diajukan Kumaravadivelu (2008:3-4) yaitu bahasa sebagai sistem, bahasa sebagai wacana, dan bahasa sebagai ideologi. Secara singkat ketiganya akan diuraikan berikut ini.

Kumaravadivelu (2008:4) menjelaskan pusat inti dari bahasa sebagai sistem terdiri dari sistem fonologi yang berkaitan dengan pola suara, sistem semantik yang berkaitan dengan kata-kata, dan sistem sintaksis yang berhubungan dengan aturan tata bahasa. Bahasa sebagai wacana mengacu pada contoh bahasa lisan atau tulis yang memiliki hubungan internal bentuk dan makna dan berhubungan secara koheren dengan fungsi komunikatif eksternal dan tujuan yang diberikan lawan bicara. Sementara itu, bahasa sebagai ideologi merujuk pada satu benang merah yaitu kekuasaan dan dominasi. Ideologi bahasa mewakili persepsi bahasa dan wacana yang dibangun untuk kepentingan kelompok sosial atau budaya tertentu.

Kajian sosiolinguistik pada dasarnya mencakup tiga pandangan konseptual bahasa tersebut. Artinya, hasil kajian disiplin ilmu ini baik secara teoretis maupun praktis akan diperlukan untuk mengembangkan desain pembelajaran dan pengajaran bahasa. Bahkan oleh ahli linguistik terapan pedoman konseptual tentang bahasa digunakan dan dimanfaatkan untuk tujuan pengajaran di kelas. Selanjutnya, dalam buku Understanding Language Teaching karya Kumaravadivelu (2008) dikenal dua istilah yang berkaitan dengan pengajaran bahasa, yaitu komponen kompetensi dan area pengetahuan. Kedua istilah itu menyebutkan sosiolinguistik sebagai sebuah kompetensi dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh peserta didik ataupun guru dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa.

Kompetensi sosiolinguistik selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi wacana. Kedua komponen ini berurusan dengan bahasa sebagai wacana yang merujuk pada aspek berbeda. Canale (1983:7) melalui Kumaravadivelu (2008:17) memberi pengertian kompetensi sosiolinguistik sebagai pengetahuan tentang sejauh mana ujaran-ujaran diproduksi dan dipahami dengan tepat dalam konteks sosiolinguistik berbeda bergantung pada faktor kontekstual seperti partisipan, tujuan interaksi, dan norma-norma atau konvensi interaksi.

Selain itu, kompetensi dan pengetahuan sosiolinguistik juga menekankan bagaimana ujaran-ujaran atau kalimat dan teks terkait dengan tujuan komunikatif pengguna bahasa dan fitur penggunaan pengaturan bahasa. Pengetahuan-pengetahuan seperti pengetahuan dialek/variasi, register, ekspresi idiomatik, dan bentuk ujaran dibutuhkan untuk mencapai kompetensi sosiolinguistik. Jika dikaitkan dengan tujuan interaksi pada lawan tutur yang khusus, kompetensi ini memberikan pengetahuan kapan untuk berbicara dan kapan untuk diam dalam situasi tertentu. Tak hanya itu, kompetensi ini juga mencakup pengetahuan bagaimana berbicara yang sesuai dalam konteks formal dan informal.

Di samping itu kompetensi sosiolinguistik memberi pemahaman tentang cara berbeda ketika berinteraksi dengan laki-laki atau perempuan. Jika dikaitkan dengan komunitas monolingual, termasuk pembelajaran menggunakan bahasa komunitas yang menandakan satu keanggotaan komunitas tertentu. Jika dikaitkan dengan bilingualisme dan multilingualisme, kompetensi ini mencakup pengetahuan kapan harus beralih kode dan bercampur kode saat bertemu dengan penutur lain. Tidak hanya itu, kompetensi sosiolinguistik mencakup pembelajaran bersikap terhadap perbedaan variasi bahasa penutur lain. Kompetensi ini menjelaskan bahwa semua anggota komunitas butuh untuk memahami dialek standar dalam suatu bahasa.

Dalam konteks pembelajaran dan pengajaran bahasa yang dilakukan guru, kompetensi sosiolinguistik memiliki banyak peran dalam mendukung kesuksesan pembelajaran. Kompetensi sosiolinguistik dapat dijadikan pedoman dalam mendesain dan menilai program pembelajaran bahasa. Guru juga memiliki pengetahuan bagaimana berinteraksi dengan kondisi siswa yang homogen dan heterogen. Akibatnya guru bertindak hati-hati dalam pemilihan bahasa ketika proses pengajaran dan pembelajaran berlangsung. Di aspek lain, guru juga dapat mengajarkan sikap berbahasa secara santun dalam konteks berbeda.

Di samping itu, kompetensi sosiolinguistik menekankan kepada guru bagaimana menggunakan bahasa untuk fungsi berbeda. Misalnya, ketika guru meminta siswa untuk melakukan penugasan, ketika guru akan mengajarkan bahasa kepada penutur asing. Selain itu, dengan modal kompetensi sosiolinguistik ini guru dapat memilih bahan ajar dan metode yang tepat untuk mengajarkan bahasa sesuai dengan karakteristik siswa.

Muara akhir pembelajaran dan pengajaran bahasa saat ini adalah membekali siswa dengan kompetensi komunikatif. Siswa diharapkan mampu berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan konteks sosial tertentu. Tidak hanya itu, siswa juga dituntut berbahasa secara positif dalam kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. Di sisi lain, guru adalah ujung tombak pembelajaran dan pengajaran bahasa harus menjadi figur memadai bagi siswa. Artinya, guru menjadi contoh nyata berbahasa harus memiliki komponen kompetensi bahasa yang baik. Salah satunya kompetensi sosiolinguistik.

Continue reading